Demokrasi Tanpa Empati

Posted by : cetarnews September 1, 2025

Indonesia kembali menjadi pusat perhatian dunia. Kali ini, perhatiannya terpusat pada masyarakat yang menunjukan rasa kesal terhadap para wakilnya secara langsung di jalanan. Turunnya masyarakat ke jalan bukan tanpa alasan. Tidak tersalurkannya aspirasi melalui wakil rakyatnya di Senayan membuat mereka merasa gelisah, khawatir, dan ketakutan. Rasa tersebut diperparah dengan tekanan yang dilimpahkan oleh Negera di pundak mereka.

Menurut McAdam dalam bukunya Political Process and the Development of Black Insurgency menegaskan bahwa salah satu hal paling klasik memicu terjadinya demonstrasi adalah lemahnya struktur negara yang menimbulkan “kegelisahan” di masyarakat. Dalam kasus demosntrasi di Indonesia, masyarakat merasa struktur negara-dalam hal ini anggota legislatif sangat lemah, dan bahkan dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai saluran aspirasi rakyat. Absennya saluran aspirasi tersebut menimbulkan kegelisahan yang akhirnya bermuara pada meluapnya emosi masyarakat melalui aksi demonstrasi.

Ketidak mampuan para anggota DPR RI dalam mengelola pola komunikasi juga menjadi penyulut kegelisahan masyarakat. Ditengah kondisi rakyat yang berjuang demi mendapatkan upah berkisar dari 6 juta/bulan (khusus UMR Jakarta), para wakilnya menyatakan bahwa kenaikan tunjangan yang mereka terima sebesar 3 juta/hari adalah hal yang sepele. Bahkan tak cukup untuk membeli bensin kendaraan mereka. Ketiadaan empati dari para wakil rakyat dengan cepat menyebar luas dan sampai ke telinga masyarakat yang bahkan tengah berdesakan di KRL. Hal ini memicu timbulnya perasaan asing di masyarakat, seakan ada jurang yang semakin lebar antara wakil dan yang diwakili. Rakyat merasa suara dan aspirasinya tidak lagi terhubung dengan realitas kehidupan para pejabatnya, sehingga muncul ketidakpercayaan terhadap lembaga legislatif.

Pembenahan pola komunikasi para anggota legislatif menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa lagi ditunda. Keselarasan antara ucapan dan perbuatan adalah kunci utama untuk mempersempit jurang hubungan antara DPR RI dan rakyat yang mereka wakili. Permintaan maaf semata tidak akan berarti tanpa dibarengi dengan perubahan nyata dalam gaya hidup, etika, dan cara berkomunikasi, terutama saat tampil di hadapan publik maupun wartawan. Pola komunikasi equalitarian yang berempati dan membumi bukan hanya memperbaiki citra DPR, tetapi juga menjadi jalan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif, yang selama ini kerap tercoreng oleh pernyataan dan sikap yang terkesan jauh dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.

Demonstrasi Anarkis, Berhasilkah?

Tidak ada kemapanan demokrasi yang datang tanpa harga. Frasa itu paling tepat untuk menggambarkan realitas demonstrasi di Indonesia: dari mereka yang berani turun ke jalan hingga mereka yang pulang hanya meninggalkan nama. Namun, harus digarisbawahi, aksi anarkis seperti pembakaran dan perusakan fasilitas umum tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya dijadikan strategi utama dalam menyampaikan tuntutan. Demonstrasi pada hakikatnya adalah ruang artikulasi politik rakyat, bukan arena untuk melampiaskan kemarahan tanpa arah. Banyak repertoar, startegi, dan taktik lain untuk memasukkan paksa draft tuntutan aksi ke meja kerja pemerintah. Seperti misalnya Aksi Duduk, suatu bentuk protes tanpa kekerasan untuk memperjuangkan kesetaraan hak orang kulit hitam dalam pemilu di Amerika Serikat.

Berhasilnya suatu demonstrasi bukan diukur dari seberapa anarkis demo berlangsung, melainkan seberapa jauh tuntutan demo dapat direalisasikan. Satu nyawa terlalu banyak untuk meralisasikan tuntutan demo yang hanya berfokus pada perbaikan satu lembaga pemerintah dan perubahan terbatas yang spesifik. Oleh sebab itu, masyarakat juga harus peka dan tidak bisa boleh membiarkan aksi ini ditunggangi oleh oknum yang melakukan aksi anarkis.

Niat baik pemerintah dalam merealisasikan tuntutan demonstrasi harus ditunjukkan secara terang-terangan, bukan sekadar wacana di ruang konferensi pers. Memang, perubahan kebijakan tidak bisa terjadi dalam sekejap, tetapi jika gelombang demonstrasi berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut, hal itu seharusnya cukup menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengambil langkah strategis, bukan hanya respons simbolik. Sejauh ini, langkah otoritatif Presiden baru sebatas memanggil para pimpinan partai politik dan ketua ormas untuk membantu meredam massa aksi. Cara ini mungkin efektif untuk sementara, tetapi jelas belum menyentuh akar persoalan yang melatari munculnya protes.

Pemerintah perlu berani membuka ruang dialog substantif dengan perwakilan demonstran, mendengarkan aspirasi tanpa sekat, sekaligus menunjukkan langkah strategis atas tuntutan yang disuarakan. Tanpa transparansi dan komitmen nyata, demonstrasi akan terus dipandang sebagai ancaman ketertiban, alih-alih sebagai wujud sehatnya demokrasi. Tentu dibarengi dengan perbaikan pola komunikasi di kalangan pemerintah. Agar suara mereka menjadi penyejuk, bukan menambah kegelisahan rakyat.

Di tulis oleh: Perwita Suci

Dosen Politik Pemikiran Islam STISNU Nusantara Tangerang

RELATED POSTS
FOLLOW US